Mathla’ulanwar.org. Setiap manusia memiliki kisah hijrahnya masing-masing. Ada yang memulai karena penyesalan, ada yang karena ujian hidup, ada pula yang karena tersentuh oleh nasihat. Namun apa pun jalannya, hijrah sejati bukan sekadar berpindah tempat atau mengubah penampilan, melainkan perjalanan spiritual dari kesalahan menuju kematangan iman kita masing-masing.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tak bisa luput dari dosa dan kekhilafan. Namun Allah selalu membuka ruang untuk kembali. Justru dalam kesalahan sering kali lahir kesadaran baru. Ketika seseorang jatuh, lalu sadar, bangkit, dan memperbaiki diri, di situlah hijrah dimulai. Hijrah adalah gerak hati menuju cahaya, menuju Tuhan, menuju ketenangan yang sejati.
Hijrah tidak berarti seseorang harus meninggalkan dunia, melainkan menata ulang arah hidupnya. Ia bukan soal seberapa jauh kita berpindah, tetapi sejauh mana kita berani meninggalkan yang salah, memperbaiki niat, dan memperdalam iman. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, hijrah adalah keputusan untuk meninggalkan hal-hal yang mengotori jiwa, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Kisah hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah menjadi simbol besar perubahan umat. Namun, esensi hijrah bukan pada perjalanan jasmani, melainkan perpindahan spiritual dan sosial, dari suasana tertekan menuju kehidupan yang bermartabat dan penuh nilai kemanusiaan. Di Madinah, Nabi membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan bersaudara. Hijrah itu menjadi tonggak peradaban Islam, sekaligus pelajaran bahwa perubahan diri harus melahirkan perubahan sosial.
Dalam perjalanan iman, kesalahan bukanlah aib selamanya. Ia bisa menjadi jembatan menuju kedewasaan rohani. Allah berfirman dalam QS. Az-Zumar ayat 53:
“Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”
Ayat ini menggambarkan betapa luas kasih sayang Allah. Ia tidak menolak siapa pun yang ingin kembali. Karena itu, hijrah sejati lahir dari pengakuan akan kelemahan diri dan kerendahan hati untuk berubah.
Namun perubahan tidak boleh berhenti di kulit luar. Banyak orang tampak berubah, tetapi hatinya belum tersentuh. Padahal, hijrah lahiriah harus diiringi hijrah batiniah. Imam al-Ghazali menulis bahwa hakikat hijrah adalah berpindah dari keburukan hati menuju kejernihan batin. Artinya, tidak cukup hanya mengganti pakaian, cara bicara, atau gaya hidup, tetapi harus disertai perubahan cara berpikir dan cara merasa.
Mathla’ul Anwar, sebagai organisasi yang berakar dari tradisi pesantren, mengajarkan keseimbangan itu, beragama dengan ilmu, beriman dengan akhlak, dan berdakwah dengan kasih sayang. Hijrah bukan sekadar identitas, melainkan proses pembentukan karakter yang memuliakan sesama manusia.
Di era modern, makna hijrah menghadapi tantangan baru. Media sosial sering menjadikan hijrah sebagai tren, seolah ukuran keimanan ditentukan oleh penampilan dan pengikut. Padahal, hijrah yang sesungguhnya tidak mencari pengakuan, tapi keridhaan. Ia tidak berisik di dunia maya, tetapi tenang di dunia nyata.
Hijrah di masa kini berarti mengatur ulang prioritas hidup, dari sibuk mencari pujian menjadi sibuk memperbaiki diri, dari haus akan perhatian manusia menjadi rindu akan perhatian Tuhan, dari menyebar kebencian menjadi penebar kedamaian.
Hijrah bukan akhir dari perjalanan, tetapi awal dari proses panjang menuju kematangan iman. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk kita bisa berhijrah, dari yang tadinya malas menuju tekun, dari lalai menuju sadar, dari keras menuju lembut.
Allah berfirman dalam QS. Al-‘Ankabut ayat 69: “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
Perjuangan melawan diri sendiri inilah bentuk jihad paling pribadi. Kadang tidak terlihat, tetapi nilainya besar di sisi Allah. Karena itu, jangan pernah malu untuk berhijrah. Yang penting bukan siapa kita di masa lalu, tetapi ke mana kita melangkah sekarang.
Hijrah sejati tidak menjadikan seseorang merasa lebih suci dari orang lain. Justru sebaliknya, ia melahirkan kerendahan hati dan empati. Orang yang benar-benar berhijrah tidak sibuk menghakimi, tetapi sibuk memperbaiki diri. Seperti nasihat bijak para ulama yang mengatakan bahwa: “Hijrah bukan berarti engkau kini lebih baik dari orang lain, tetapi karena engkau ingin lebih baik dari dirimu yang kemarin.”
Pada akhirnya, hijrah adalah perjalanan batin tanpa akhir. Ia adalah bentuk cinta seorang hamba kepada Tuhannya, cinta yang tumbuh dari kesadaran, dibuktikan dengan perubahan, dan dijaga dengan keikhlasan.
Setiap langkah kecil menuju kebaikan, meski tak dilihat manusia, selalu berarti besar di sisi Allah.
Semoga setiap kesalahan yang pernah kita lakukan menjadi pelajaran berharga, dan setiap hijrah yang kita niatkan menjadi jalan menuju kematangan iman. Karena hijrah sejati bukan sekadar berpindah arah, tetapi berubah hati, dari gelap menuju cahaya, dari diri sendiri menuju Allah.
















